Sebuah Surat: Selamat Datang Titik Terendah
Dear, Titik terendah...
Apa Kabar?
Rasanya dua tahun lalu aku sudah mengucapkan salam perpisahan.. Tapi ternyata tahun ini kita berjumpa lagi..
Dulu kita begitu akrab ya? Sampai-sampai rasanya aku enggan pergi meninggalkanmu. Karena bagiku, hidup adalah "membawa luka kemanapun aku berpetualang."
Titik terendah...
Kau tahu tidak? sebentar lagi aku akan memasuki genap seperempat abad. Rasanya bahagia sekali. Hari-hari aku jalani penuh dengan rasa syukur, tawa dan rasa percaya diri akan masa depan yang spektakuler. Tapi setelah kupikir-pikir, Tuhan ternyata memintaku menemuimu lagi di tahun ini.
Titik terendah...
Sekali lagi, kau tahu tidak?
Aku tidak pernah percaya dengan krisis yang datang bak bencana di masa-masa seperempat abad. Bagiku krisis hanya mitos untuk anak muda yang tidak pernah belajar dari pengalaman hidupnya, dan dengan mudahnya aku menertawakan semua orang yang merasa dirinya terjebak dalam bencana krisis itu.
Tapi... Ternyata aku salah... Semakin aku menggenapkan seperempat abadku, semakin aku datang kepadamu dengan semua badai krisis yang tejadi dalam diri...
Titik Terendah...
Aku hampir menyerah dengan kehidupan.. dengan takdir yang katanya dapat membawaku pada sebuah "kekayaan." Semua kepercayaan diri yang aku bangun dalam menyambut kehidupan spektakuler, nyatanya runtuh begitu saja.
Aku mengulangi kesalahanku dua kali. Menemui orang-orang toxic dan terjebak di penjaranya. Hanya dalam semalam, semua optimisme yang aku bangun hancur begitu saja karena seseorang dengan begitu ringan melemparkan ucapannya.
Titik terendah...
Dari kejadian yang telah menimpaku akhir-akhir ini, aku menyadari satu hal, bahwa aku hanyalah "anak Ibu yang belum mampu melakukan apa-apa, aku hanya seorang istri yang tengah mengalami krisis dan terlena berperan sebagai Cinderella, aku hanyalah adik perempuan bungsu yang parasit dan tidak tahu terimakasih."
Titik teredah...
Selamat datang kembali dalam pelukkanku...